Diterjemahkan dari kitab “Al jauharah An Naqiyyah fi Al Qawaid Al Fiqhiyyah” oleh Syaikh Abdurrahman bin Fahd Ad DusariyDefinisi Kaidah Fiqih
Kaidah dari sisi bahasa artinya pondasi secara inderawi seperti pondasi rumah atau secara maknawi seperti pondasi agama. Sementara dari sisi istilah, kaidah adalah hukum keseluruhan yang diambil darinya faidah untuk hukum-hukum parsial yang banyak.
Fiqih secara bahasa artinya paham. Adapun secara istilah, fiqih adalah mengetahui hukum amalan syariat dengan dalil-dalilnya yang terperinci.
Kaidah Fiqih
Kaidah Fiqih adalah hukum syariat fiqih mayoritas yang bisa diambil faidah untuk hukum-hukum parsial yang banyak.
Tujuan Penting Ilmu Kaidah Fiqih
Untuk mengetahui faidah-faidah dari kaidah-kaidah fiqih. Tujuan paling pentingnya adalah menetapkan masalah-masalah fiqih yang samar.
Kaidah-kaidah Paling Besar
Kaidah-kaidah fiqih ada banyak. Namun yang paling penting ada 5 kaidah yang oleh ahli di bidang ini dinamakan dengan “القَوَاعِدُ الْكُبْرَى” kaidah paling besar, yaitu:
- Kaidah yang pertama: الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
Perkara itu tergantung tujuannya
- Kaidah yang kedua: اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Keyakinan tidak hilang dengan keraguan
- Kaidah yang ketiga: المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
Kesulitan mendatangkan kemudahan
- Kaidah yang keempat: الضَّرَرُ يُزَالُ
Bahaya harus dihilangkan
- Kaidah yang kelima: العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ أَوْ العُرْفُ
Adat itu berlaku atau kaidah “kebiasaan”
Berikut ini akan dijelaskan tiap kaidah satu persatu insya Allah.
Kaidah Pertama: Perkara itu Tergantung tujuannya
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
Penjelasan Kaidah
Al Maqashid secara bahasa adalah jamak dari kata maqshad. Arti kata “maqshad” dan “qashd” adalah niat, keinginan, dan orientasi untuk melakukan sesuatu. Sementara secara istilah, “Al Maqashid” adalah perkara-perkara yang mendorong suatu perbuatan.
Definisi Kaidah
Perilaku orang yang terkena beban syariat (mukallaf) mengikuti niatnya. Amalnya sah bila niatnya sah dan amalnya rusak bila niatnya rusak.
Contoh Penerapan Kaidah
- Orang yang memberikan orang faqir 100 riyal ikhlas karena Allah maka sedekahnya diterima. Sementara orang yang bersedekah karena berharap pujian manusia maka itu riya dan tertolak. Siapa yang bersedekah tanpa niat, bukan karena Allah dan bukan pula karena riya, maka tidak ada pahala baginya.
- Siapa yang membasuh seluruh anggota wudhunya untuk membersihkan tubuhnya dari debu maka itu hanya sekadar membersihkan diri. Sementara orang yang membasuhnya dengan niat wudhu atau mengangkat hadats, maka itu adalah bersuci yang sah secara syariat.
Dalil Kaidah
Hadits dari Umar bin Al Khattab, bahwa Nabi bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. Setiap orang akan mendapatkan tergantung niatnya (Muttafaqun ‘alaih)[1]
Tujuan Niat
Niat memiliki beberapa tujuan, yang paling pentingnya adalah:
- Membedakan tujuan perbuatan. Jika tujuan perbuatannya adalah wajah Allah maka itu adalah ikhlas. Namun jika tujuannya adalah pujian manusia maka itu adalah riya yang tertolak. Jika ibadahnya untuk selain Allah maka itu adalah syirik yang paling besar.
- Membedakan ibadah dari adat. Misalnya:
- Membedakan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan menahan diri untuk membersihkan darah dan diet.
- Membedakan mandi junub dari mandi untuk mendinginkan badan.
- Membedakan ibadah yang semisal. Misalnya:
- Membedakan shalat sunnah shubuh dari shalat shubuh
- Membedakan puasa sunnah dari puasa qadha (ganti) Ramadhan
- Merubah adat menjadi ibadah. Misalnya:
- Makan, minum, dan tidur dengan niat menguatkan diri dalam mentaati Allah
- Memberi nafkah untuk diri, istri, dan anaknya dengan mengharap pahala di sisi Allah.
- Patokan sah atau batalnya amal. Ibadah seperti wudhu, shalat, haji, zakat, dan selainnya tidak sah kecuali dengan niat.
Kaidah Turunan dari Kaidah “Perkara Tergantung Tujuannya”
- Kaidah turunan pertama: لَا ثَوَابَ إِلَّا بِنِيَّةٍ
“Tidak ada pahala kecuali dengan niat”. Misalnya:
- Berdiam diri di Masjid tanpa niat maka tidak berpahala. Namun jika diniatkan i’tikaf, maka berpahala.
- Menahan diri dari hal yang membatalkan puasa di siang hari demi pengobatan atau diet maka tidak berpahala. Namun jika dengan niat puasa, maka berpahala.
- Kaidah turunan kedua: النِّيَّةُ شَرْطٌ لِصِحَّةِ الْعَمَلِ
“Niat adalah syarat sahnya Amal”. Misalnya:
- Apabila seseorang membasuh anggota wudhunya sebatas untuk membersihkan atau mendinginkan diri, maka ini tidak dianggap wudhu secara syar’i.
- Apabila seseorang mengeluarkan hartanya dengan niat sedekah yang sunnah kemudian ia ingin menjadikannya zakat yang wajib, maka tidak sah zakatnya. Zakatnya masih tetap dalam tanggungannya.
- Kaidah turunan ketiga:
العِبْرَةُ فِي الْعُقُوْدِ بِالْمَقَاصِدِ وَالْمَعَانِيْ لَا بِالْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِيْ
“Hukum yang dianggap dalam akad adalah maksud dan maknanya bukan lafadz dan susunan kalimatnya”
- Apabila seseorang berkata pada orang lain: “aku hibahkan padamu mobil ini dengan harga 10,000”. Ini jual beli bukan hibah.
- Apabila seorang pembeli berkata kepada penjual: “Ambillah jamku ini sebagai titipan untukmu sampai aku memberimu seharga barang ini”. Ini gadai bukan titipan.
Kaidah Kedua: Keyakinan Tidak Hilang dengan Keraguan
اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Penjelasan Kaidah
Yakin secara bahasa adalah menetap. Diambil dari ucapan orang Arab: يَقَنَ الْمَاءُ فِي الْحَوْضِ, Air menetap di telaga, apabila ia menetap. Makna yang diinginkan adalah ilmu yang tidak ada keraguan. Adapun secara istilah, yakin adalah ketenangan hati dan menetapnya ilmu, atau ia adalah keyakinan yang kokoh.
Ragu secara bahasa adalah tumpang tindih. Itu dikarenakan keraguan itu dimasuki dua perkara yang tidak dapat dikuatkan antara keduanya. Adapun secara istilah, ragu adalah bingung antara terjadinya sesuatu atau tidak.
Maksud Kaidah
Apabila keraguan menimpa seseorang, sementara ia memiliki keyakinan sebelumnya, maka ia tidak perlu menoleh pada keraguan tersebut. Akan tetapi ia harus mengembalikan hukumnya ke keyakinan sebelumnya.
Contoh Penerapan Kaidah
- Orang yang yakin dia suci lalu ragu apakah ia berhadats atau tidak, maka ia tetap pada hukum asalnya yaitu suci.
- Bila seseorang ragu pada salah satu shalat, apakah ia sudah shalat atau belum?. Ia wajib shalat karena ia ragu pada perbuatan shalatnya. Hukum asalnya ia belum shalat. Maka ia tidak lepas dari beban shalat sampai ia mengetahui (dengan yakin) bahwa ia sudah melaksankan shalat tersebut[2].
Dalil Kaidah
Hadits dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia pernah mengadukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” (Muttafaqun ‘alaih)[3]
Kaidah Turunan dari Kaidah “Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”
- Kaidah Turunan Pertama:
الأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
“Hukum asalnya sesuatu itu tetap sesuai keadaan asalnya”. Misalnya:
- Orang yang ingin puasa dan makan sahur lalu ragu apakah sudah terbit fajar. Kemudian menjadi jelas bahwa itu telah terbit fajar. Maka puasanya sah. Karena hukum asalnya masih malam (belum terbit fajar).
- Orang yang ragu apakah ia sudah berwudhu setelah ia berhadats. Maka ia dihukumi berhadats. Karena hukum asalnya masih berhadats.
- Kaidah Turunan Kedua:
الأَصْلُ إِضَافَةُ الْحَادِثِ إِلَى أَقْرَبِ أَوْقَاتِهِ
“Hukum asalnya kejadian itu disandarkan pada waktu yang paling dekat”. Misalnya:
- Siapa yang melihat pada sarungnya ada mani dan ia tidak ingat kapan bermimpi. Maka ia wajib mengulang shalatnya dari tidur terakhirnya saja dengan menyandarkan mimpinya terjadi pada waktu yang paling dekat. Karena hukum asalnya tidak terjadi sebelum waktu tersebut.
- Siapa yang melihat pada tangannya sesuatu yang mencegah sampainya air ke kulit seperti cat dan lem, maka ia wajib berwudhu setelah menghilangkannya[4]. Lalu ia mengulang shalat yang paling dekat waktunya dengan ia menggunakan penghalang tersebut, dengan kadar waktu yang dikira-kira adanya penghalang tersebut pada waktu yang paling dekat. Karena hukum asalnya tidak ada sebelum waktu tersebut.
- Kaidah Turunan Ketiga: الأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الطَّهَارَةُ
“Hukum asal sesuatu itu suci”. Misalnya:
- Siapa yang mengklaim najisnya semua hewan yang tidak dimakan apabila lebih besar dari kucing. Maka ia wajib dituntut untuk mendatangkan dalil untuk merubah dari hukum asal seluruh hewan itu suci kecuali ada dalil yang menunjukkan atas najisnya. Jika ia bisa mendatangkan dalil, maka boleh berpegang bahwa hewan tersebut najis. Namun jika tidak, kita tetap berpegang dengan hukum asal hewan itu suci.
- Orang yang ragu kesucian suatu tempat dimana ia shalat. Maka hukum asalnya ia suci. Sampai kita mengetahui bahwa hukumnya telah berpindah menjadi najis dari hukum asal suci. Itu terjadi bila kita mengetahui jatuhnya najis pada tempat tersebut.
- Kaidah Turunan Keempat: الأَصْلُ بَرَائَةُ الذِّمَّةِ
“Hukum asalnya adalah lepas tanggungan”
- Shalat witir tidaklah wajib bagi mukallaf karena tidak adanya dalil yang kuat yang mewajibkannya. Maka hukum asalnya lepas tanggungan dari kewajibannya.
- Orang yang mengklaim hutang kepada orang lain tanpa bukti maka orang yang diklaim berhutang tidak wajib membayar hutang. Karena hukum asalnya adalah lepas tanggungan (sampai ada bukti -pent.)
Kaidah Ketiga: Kesulitan Mendatangkan Kemudahan
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
Penjelasan Kaidah
Kesulitan secara bahasa artinya kelelahan, kesungguhan, kerja keras.
Kemudahan secara bahasa artinya gampang dan luwes.
Maksud Kaidah
Keadaan yang menimbulkan kesulitan, kesusahan, dan kesukaran bagi mukallaf ketika melaksanakan sebagian hukum syariat, maka sesungguhnya syariat datang untuk mengangkat kesukaran dan kesulitan dengan cara meringankan hukumnya.
Ketetapan tentang kesulitan yang bisa mendatangkan keringanan bahwa kesulitan yang timbul harus nampak secara nyata yang apabila suatu ibadah dikerjakan dengan adanya kesulitan tersebut akan menimbulkan bahaya bagi pelakunya seperti hilangnya nyawa atau anggota tubuhnya rusak, atau sakitnya bertambah, atau lama sembuhnya, atau sakitnya nampak. Adapun jika kesulitan yang biasa atau sedikit maka tidak ada keringanganan padanya seperti flu biasa atau sakit kepala yang ringan.
Contoh Penerapan Kaidah
- Tayammum diperbolehkan bagi orang yang sakit sebagai ganti dari wudhu apabila dengan berwudhu sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.
- Menggabung (jamak) dua shalat dibolehkan atau dianjurkan di sebagian keadaan seperti safar, sakit, dan hujan yang membuat basah pakaian saat adanya kesulitan untu melakukan setiap shalat pada waktunya.
Dalil Kaidah
Firman Allah:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (Al Baqarah: 185)
Hadits dari Anas radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا
Berilah kemudahan, Jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira, jangan kalian membuat lari (Muttafaqun ‘alaih)[5]
Sebab Kemudahan
Diantara yang menyebabkan kemudahan pada syariat adalah sakit, safar, dipaksa, tidak tahu, lupa, dan kekurangan karena sebab tertentu seperti gila, anak kecil, haid dan nifas.
Kaidah Turunan dari Kaidah “Kesulitan Mendatangkan Kemudahan”
- Kaidah Turunan Pertama:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan”. Misalnya:
- Memakan bangkai diperbolehkan saat kelaparan
- Membunuh hewan yang dimiliki orang lain diperbolehkan bila ia menyerang manusia dan tidak berhenti kecuali dibunuh
- Kaidah Turunan Kedua:
الضَّرُوْرَاتُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Keadaan darurat diperbolehkan sesuai kadar daruratnya”. Misalnya:
- Bila wanita sakit hanya mendapati dokter laki-laki yang bisa mengobatinya dan dokter terebut harus menyentuhnya atau menyingkap sebagian auratnya maka dokter tersebut tidak boleh menyentuhnya dan menyingkap auratnya melebihi hajat (di luar bagian yang perlu diperiksa -pent.)
- Orang yang perlu diperban atas anggota wudhunya, maka tidak boleh perbannya melebihi hajatnya (di luar area yang sakit -pent.) kecuali agar perban itu melekat kuat.
- Kaidah Turunan Ketiga: إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اِتَّسَعَ
“Apabila suatu perkara menjadi sempit, maka ada keluasan (kemudahan) hukum”. Misalnya:
- Kewajiban shalat berjamaah gugur bagi orang yang memiliki udzur seperti sakit yang menyulitkan untuk datang ke masjid atau orang yang takut tertinggal rombongan saat bepergian.
- Wanita yang sedang dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya boleh keluar rumahnya apabila ia perlu untuk mencari rejeki atau untuk membeli keperluannya bila tidak ada orang yang bisa membelikannya atau untuk keperluan berobat.
- Kaidah Turunan Keempat: لَا وَاجِبَ مَعَ الْعَجْزِ
“Tidak ada kewajiban bersama kelemahan”. Misalnya:
- Orang yang terpotong tangan atau kakinya maka gugur kewajiban membasuhnya ketika berwudhu.
- Orang yang tidak memiliki bekal uang yan cukup untuk berangkat ke mekkah untuk berhaji maka gugur kewajiban berhaji.
- Kaidah Turuan Kelima:
المَيسُوْرُ لَا يَسْقُطُ بِالمَعْسُوْرِ
“Kemudahan tidak gugur dengan kesulitan”. Misalnya:
- Siapa yang memiliki udzur untuk membasuh atau mengusap tangannya saja, maka wajib membasuh anggota wudhu lain yang mampu ia basuh. Ia bertayammum untuk anggota yang ia tidak mampu basuh atau usap. Ia tidak boleh bertayammum untuk seluruh anggota tubuhnya.
- Siapa yang tidak bisa ruku’ namun bisa berdiri, maka ia wajib shalat dalam keadaan berdiri dan cukup memberi isyarat saat ruku’. Ia tidak boleh shalat sambil duduk karena ia mampu berdiri.
Kaidah Keempat: “Bahaya Harus Dihilangkan” atau kaidah “Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain”
الضَّرَرُ يُزَالُ أَوْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Penjelasan Kaidah
Bahaya secara bahasa artinya menimbulkan mudarat. Ia adalah lawan bermanfaat atau ia adalah kerusakan. Sementara secara istilah, bahaya adalah pelanggaran terhadap maslahat syari’at untuk diri sendiri atau orang lain karena melampaui batas atau karena kelalaian.
Maksud Kaidah
Syariat menafikan bahaya dan kerusakan dengan mencegah terjadinya atau mengangkat dan menghilangkannya setelah terjadi.
Contoh Penerapan Kaidah
- Seseorang dilarang membuat sesuatu yang membahayakan orang lain di jalan seperti membuat lubang di jalan atau meletakkan besi atau tanah di tengah jalan yang dilewati orang.
- Syariat mewajibkan orang yang merusak barang milik orang lain untuk menanggung kerugiannya baik yang semisalnya jika memungkinkan atau membayar sesuai harganya. Itu dilakukan untuk membayar bahaya yang dihasilkan dengan perusakan.
Dalil Kaidah
Hadits dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain[6] (HR Al Hakim, Baihaqi, dan Addaruquthni[7])
Kaidah Turunan dari Kaidah “Bahaya Harus Dihilangkan”
- Kaidah Turunan Pertama:
الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ أَوْ أَعْلَى مِنْهُ
“Suatu bahaya tidak dihilangkan dengan yang semisalnya atau yang lebih tinggi darinya”. Misalnya:
- Tidak boleh menghindari kebinasaan dengan mengambil makanan orang lain yang juga memerlukannya dalam rangka menghindari kebinasaan dirinya.
- Seseorang tidak boleh mengambil baju orang lain yang juga butuh untuk menutup aurat dalam rangka menutup aurat dirinya sendiri.
- Kaidah Turunan Kedua:
الضَّرَرُ يُدْفَعُ قَدْرَ الْإِمْكَانِ
“Suatu bahaya dihindari sebisa mungkin”. Misalnya:
- Memotong tangan yang terkena penyakit bakteri pemakan daging untuk keamanan anggota tubuh yang lain.
- Menutup aurat yang berat bila tidak memungkinkan untuk menutup seluruh aurat sebagai bentuk menghindari kerusakan sebisa mungkin.
- Kaidah Turunan Ketiga:
تُدْفَعُ أَعلَى الْمَفْسَدَتَينِ بِارْتِكَابِ أَدْنَاهُمَا
“Dua kerusakan yang sama-sama berbahaya dihindari dengan mengambil yang lebih rendah bahayanya”. Misalnya:
- Diperbolehkan membelah perut ibu yang sudah meninggal untuk mengeluarkan janin yang diharapkan masih hidup. Maka di sini kerusakan dari membelah perut ibu dilakukan untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, yaitu meninggalnya bayi.
- Kaidah Turuan Keempat: “Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil maslahat”. Misalnya:
- Tidak melakukan pembentangan tangan ketika ruku’ dan sujud padahal di situ ada maslahat mengikuti sunnah apabila itu bisa menimbulkan kerusakan, yaitu mengganggu orang yang di sebelahnya. Begitupula meninggalkan duduk tawarruk pada tasyahhud akhir dari shalat yang 3 atau 4 raka’at (bila mengganggu orang di sebelahnya – pent.).
- Membunuh orang yang murtad setelah dinasehati dan diminta bertaubat untuk menghindari kerusakan dengan dirinya dibiarkan hidup akan memunculkan tuduhan bahwa agama ini memiliki kekurangan karena ada yang meninggalkan agamanya. Juga karena akibat lain seperti ia bisa merusak keluarga dan anaknya dan menimbulkan fitnah di tengah manusia dan keberaniannya melawan agama. Ini lebih utama (untuk menolak kerusakan dengan cara dibunuh -pent.) daripada adanya maslahat seperti kemungkinan ia berlaku baik, atau nafkahnya kepada anak dan istrinya, atau baktinya pada orang tuanya, dan maslahat lainnya.
Kaidah Kelima: Adat itu berlaku atau kaidah “sesuai kebiasaan”
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ أَوْ العُرْفُ
Penjelasan Kaidah
Adat secara bahasa diambil dari kata “العَوْدُ” dan “المُعَاوَدَةُ” yang artinya pengulangan. Kata “مُحَكَّمَةٌ” diambil dari kata hukum, artinya keputusan dan ketetapan diantara manusia.
Kata “العُرْفُ” secara bahasa aratinya berkesinambungan, nampak, dan tenang. Bila dikatakan “تَعَارَفَ النَّاسُ عَلَى كَذَا” maka artinya mereka terus menerus seperti itu.
Adat dalam istilah fiqih adalah perkara yang berulang di sisi mayoritas manusia atau pada sebagian mereka hingga diterima tanpa ada pengingkaran atau dianggap asing.
Urf secara istilah adalah kebiasaan mayoritas manusia atau sekelompok mereka pada ucapan, perbuatan, atau meninggalkan[8].
Maksud Kaidah
Adat dan kebiasaan menjadi sumber dan hukum yang berlaku pada Sebagian keadaan dan gambaran yang nanti akan dijelaskan insya Allah.
Contoh Penerapan Kaidah
- Ketetapan untuk “standar banyak” misalnya shalat batal apabila bergerak berturut-turut apabila ia dipandang banyak menurut kebiasaan. Ini juga berlaku untuk “standar sedikit” misalnya najis darah yang sedikit pada baju dimaafkan bila dipandang sedikit menurut kebiasaan.
- Bila ada dua orang yang berjual beli dengan mata uang dan tidak menentukan batasan, lalu kemudian mereka Maka yang dianggap pada transaksi tersebut adalah mata uang yang biasa digunakan di negeri tersebut. Misalnya kalau di Arab Saudi maka menggunakan riyal Saudi, bukan yang lain, dan bukan uang receh. Kalau di mesir dengan junaih mesir.
Dalil Kaidah
Firman Allah:
وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِيْ عَلَيْهِنَّ باِلْمَعْرُوْفِ
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf (Al Baqarah: 228)
Hadits dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa Hindun binti Utbah datang seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki yang pelit dan ia tidaklah memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku kecuali aku mengambil hartanya sementara dia tidak mengetahuinya”. Maka Rasulullah bersabda:
خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf” (Muttafaqun alaih)[9]
Syarat Menggunakan Kebiasaan
Kebiasaan memungkinkan untuk digunakan dengan empat syarat berikut:
- Kebiasaan tersebut tidak menyelisihi syariat. Misal bila kebiasaan di suatu negeri bahwa semua yang mengambil pinjaman uang wajib membayar dengan tambahan riba, maka tidak boleh mengamalkan kebiasaan ini dan tidak wajib bagi orang yang meminjam (membayar ribanya – pent.).
- Kebiasaan ini berlaku bagi mayoritas penduduk negeri. Seperti manusia yang bermuamalah dengan satu mata uang di suatu negeri. Maka bila harga pada suatu akad dimutlakkan, otomatis menggunakan mata uang tersebut.
- Kebiasaan tersebut berlaku di masa lalu bukan di masa depan. Misal seseorang membeli sesuatu dari orang lain dengan harga 60 riyal pada 80 tahun lalu. Maka kita tidak menghukumi jual beli tersebut dengan riyal yang ada pada kita sekarang. Akan tetapi dengan yang dinamakan riyal pada zaman itu, yaitu riyal uang perak.
- Tidak ada pernyataan yang menyelisihi kebiasaan. Jika ada pernyataan yang menelisihi kebiasaan maka yang dianggap adalah pernyataan bukan kebiasaan. Misalnya kalau ada dua orang di Arab Saudi yang bertansaksi dan tertulis pada akadnya bahwa harganya dengan dolar atau euro atau selainnya, maka di sini tidak bisa dianggap menggunakan riyal Saudi.
Kesempatan Penggunaan Kebiasaan
Kesempatan menggunakan kebiasaan bermacam-macam diantaranya:
- Bila terdapat lafal yang mutlak pada dalil-dalil syariat yang tidak dibatasi dan tidak ada batasan syariat seperti shalat atau batasan bahasa seperti mencuri, maka kita mengembalikan batasannya kepada kebiasaan yang benar. Misalanya besaran nafkah untuk istri dan berbuat baik kepada kedua orang tua.
- Penafsiran lafal manusia pada muamalah dan sumpah mereka. Misalnya, memutlakkan penggunaan riyal (di Saudi) dalam transaksi dan misalnya orang yang bersumpah tidak akan makan daging, ia tidak melanggar sumpahnya dengan makan ikan.
Kaidah Turunan dari Kaidah “Adat itu Berlaku”
- Kaidah Turunan Pertama:
المَعرُوْفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti syarat yang dipersyaratkan”
- Orang yang meminjam mobil kepada temannnya maka tidak boleh membawa mobilnya keluar daerahnya karena ini kebiasaan yang dianggap sebagai persyaratan selama pemilik mobil tidak mengijinkannya dengan terus terang.
- Orang yang ditunjuk sebagai wakil untuk membeli mobil atau perabotan dan yang semisalnya tidak boleh membeli sesuatu yang memiliki cacat karena menafikan cacat seperti syarat baginya dan itu keharusan dalam perwakilan.
- Kaidah Turunan Kedua:
المَعْرُوْفُ عِنْدَ التُّجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
“Sesuatu yang dikenal disisi para pedagang seperti syarat diantara mereka”
- Apabila sudah menjadi kebiasaan di suatu negeri bahwa yang membayar jasa broker properti adalah pembeli atau penyewa, maka inilah yang berlaku selama tidak ada pernyataan yang menyelisihinya.
- Apabila sudah menjadi kebiasaan bagi penjual untuk membawa barang-barang ke mobil pembeli atau bila pengantaran ke rumah pembeli masuk dalam tanggungan akad jual beli, maka wajib bagi penjual untuk melakukannya tanpa dibayar selama tidak ada pernyataan yang menyelisihinya.
- Kaidah Turunan Ketiga:
التَّعْيِيْنُ بِالْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّصِّ
“Penentuan dengan kebiasaan seperti penentuan dengan tulisan”
- Orang yang menyewa rumah untuk tempat tinggal tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang-barang atau merubahnya menjadi tempat jualan tanpa izin dari pemilik rumah.
- Orang yang menyewa mobil untuk kendaraan biasa tidak boleh digunakan untuk membawa sesuatu yang tidak biasa dibawa dengannya seperti hewan dan kotoran.
Ringkasan Kaidah Fiqih
[1] HR Al Bukhari dan ini adalah hadist pertama dalam kitabnya dan Muslim di kitab al imarah bab sabda Nabi “sesungguhnya amalan tergantung niatnya”(1907)
[2] Dikecualikan bagi orang yang selalu waswas maka ia tidak perlu menganggap keraguannya
[3] HR Bukhari (137) dan Muslim (361)
[4] Ini apabila anggota wudhunya sudah kering atau telah berlalu waktu yang lama setelah berwudhu. Adapun jika belum kering anggota wudhunya dan belum lama waktunya, maka ia menghilangkan penghalangnya dan membasuh area yang tadinya menutupi anggota wudhu, kemudian ia menyempurnakan wudhunya dengan membasuh anggota wudhu setelahnya sampai selesai
[5] HR Bukhari (69) dan Muslim (1734)
[6] Para ulama berselisih apakah makna “dharar” dan “dhirar” berbeda atau sama? Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa keduanya bermakna sama dan disebut dua kali untuk penguatan makna. Pendapat yang masyhur adalah keduanya memiliki makna yang berbeda. Namun ada beberapa pendapat lagi:
- “Dharar” adalah isim dan “dhirar” adalah fi’il. Maknanya bahwa membahayakan diri sendiri dilarang dalam syariat begitu juga memasukkan bahaya tanpa hak.
- “Dharar” adalah memasukkan bahaya pada orang lain dengan sesuatu yang ada manfaatnya sementara “dhirar” memasukkan bahaya pada orang lain dengan sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Shalah.
- “Dharar” adalah membahayakan orang yang tidak memberinya bahaya sementara “dhirar” adalah membahayakan orang yang memberinya bahaya dengan jalan yang tidak diperbolehkan (Diringkas dari Jami Al Ulum Wal Hikam, halaman 304) .
[7] HR Alhakim dalam Al Mustadrak (2/58), Al Baihaqi (6/68), Ad Daruquthni (2/77)
[8] Kebanyakan ahli fiqih tidak membedakan penggunaan kata ‘urf dan adat pada kebanyakan tulisan mereka. Kamu bisa mendapati mereka menyebutkan satu kata padahal yang dimaksud adalah kata yang lainnya atau mereka menyebutkannya secara bersamaan seakan keduanya lafal yang berlawanan sebagaimana banyak tersebar di kitab-kitab fiqih seluruh madzhab. Adapun kami para ahli fiqih masa kini membedakan antara kedua lafal tersebut. Pendapat yang paling masyhur tentang perbedaan penggunaan kedua kata tersebut adalah: lafal adat banyak digunakan untuk kebiasaan yang berulang pada individu seperti dikatakan pada masalah haid: adat (kebiasaan) haidh. Sementara lafal urf banyak digunakan untuk kebiasaan yang ada pada masyarakat. Namun ini adalah perkara yang mudah. Tidak perlu berdebat pada masalah istilah. Wallahu a’lam.
[9] HR Bukhari (5049) dan Muslim (1714)