10 Pilar Pendidikan Anak – Syaikh Abdurrazzaq bin Abdulmuhsin Al Abbad Al Badr Hafidzhahumallah
Diterjemahkan dari kitab berjudul “عَشْرُ رَكَائِزَ فِيْ تَرْبِيَّةِ الْأَبْنَاءِ”
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah ﷻ, rabb seluruh alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas hamba, utusan, dan kekasih Allah ﷻ, Nabi Muhammad ﷺ, dan juga atas keluarganya dan sahabatnya seluruhnya. Amma ba’du.
Sesungguhnya diantara kewajiban yang paling besar dan amanah yang paling agung yang wajib diperhatikan oleh seorang hamba dalam kehidupan ini adalah anak-anaknya dimana ia berkewajiban membina, mendidik, menasehati, dan mengarahkan mereka. Sesungguhnya anak-anak termasuk amanah yang agung yang Allah ﷻ perintahkan untuk dijaga dan dipelihara sebagaimana firman Allah ﷻ ketika menyebutkan sifat orang-orang yang beriman:
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رٰعُوْنَۖ
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya (Al Ma’arij: 32)
Allah ﷻ juga berfirman:
وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ ࣖ
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ﷻ-lah pahala yang besar (Al Anfal: 28)
Sebagaimana Allah ﷻ memberikan karunia kepada para orang tua nikmat yang agung sesuai firman-Nya:
لِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ ۗيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ اِنَاثًا وَّيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ الذُّكُوْرَ ۙ
Milik Allah ﷻlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki (Asy Syuura: 49)
Maka di saat yang sama Allah ﷻ mengamanahi mereka dengan anak-anak mereka dan mmberikan mereka hak dan kewajiban dan menjadikannya ujian bagi para orang tua. Jika para orang tua memperlakukan anak-anak mereka sebagaimana yang Allah ﷻ perintahkan kepada mereka, maka mereka mendapatkan pahala yang agung dan balasan yang besar. Namun jika mereka lalai dalam pendidikan anak, maka sungguh mereka layak mendapatkan hukuman sesuai dengan tingkat kelalaian mereka. Allah ﷻ berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras (At Tahrim: 6)
Ayat ini merupakan pondasi yang agung tentang kewajiban menjaga, mendidik, dan memperhatikan keadaan anak-anak. Khalifah yang mulia Ali bin Abu Thalib berkata Ketika menjelaskan ayat ini: “Ajarkanlah mereka, didiklah mereka”[1]
Terdapat hadits yang shahih dari Nabi yang menguatkan hal ini dan menjelaskan kewajiban bagi para orang tua dalam sabdanya:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. الإمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِيْ أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِيْ بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِيْ مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang Imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, laki-laki adalah pemimpin di dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimipinannya, seorang pembantu adalah penjaga harta tuannya dan bertanggung jawab atas apa yang dijaganya. Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya[2]
Ucapan Rasulullah ﷺ “bertanggung jawab” mengandung peringatan bahwa Allah ﷻ akan bertanya pada hambanya tentang amanah ini manakala mereka berdiri di hadapan Allah ﷻ pada hari kiamat. Sebagian ahli ilmu berkata: “Sesungguhnya Allah ﷻ bertanya kepada orang tua tentang anak-anaknya sebelum Allah ﷻ bertanya kepada anak-anak tentang orang tuanya. Sesungguhnya sebagaimana orang tua memiliki hak atas anak, maka anak pun memiliki hak atas orang tuanya”[3].
Ibnu Umar berkata: “Didiklah anakmu.. sesungguhnya dirimu akan ditanya tentang anakmu; bagaimana kamu mendidiknya, apa yang kamu ajarkan. Sesungguhnya ia (anakmu) akan ditanya tentang bagaimana baktinya dan ketaatannya padamu”[4]
Sebagaimana Allah ﷻ berwasiat kepada anak-anak untuk berbakti kepada orang tua dan berbuat baik kepada mereka dalam firman-Nya:
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۗ
Kami telah mewasiatkan (kepada) manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya (Al Ankabut: 8)
Allah ﷻ juga berwasiat kepada para orang tua untuk membimbing dan mendidik anak-anak mereka sebagaimana firman Allah ﷻ ta’ala:
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ
Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu (An Nisa: 11)
Maka wasiat Allah ﷻ kepada para orang tua terhadap anak-anak mereka lebih didahulukan daripada wasiat Allah ﷻ kepada anak-anak terhadap orang tua mereka[5].
Nabi kita yang mulia telah mengabarkan bahwa kedua orang tua memiliki pengaruh yang luar biasa kepada anak-anak mereka dalam aqidah dan agama mereka terlebih lagi akhlaq dan tabiat mereka. Rasulullah bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat ada cacat?”[6]
Ini adalah permisalan luar biasa yang sangat gamblang. Sesungguhnya binatang ternak biasanya dilahirkan dalam keadaan selamat dari cacat dan penyakit. Biasanya juga tidak ada cacat atau terpotong pada tangannya, telinganya, atau kakinya. Sesungguhnya yang menjadikannya cacat hanyalah pemilik atau penggembalanya, baik karena ia lalai menjaganya atau menyebabkan cacat secara langsung. Begitu pula anak-anak. Mereka dilahirkan dalam keadaan fitrah. Jika ia belajar berdusta, menipu, kerusakan, penyimpangan dan kemungkaran lainnya maka itu berasal dari luar fitrahnya. Bisa jadi itu disebabkan karena pembinaan yang buruk atau adanya kelalaian atau karena pengaruh luar dari pelaku keburukan dan kesalahan.
Dikarenakan pentingnya dan agungnya amanah ini, di buku ini aku menyebutkan 10 pilar yang termasuk asas paling penting yang seharusnya diperhatikan oleh kedua orang tua agar mereka bisa merealisasikan tuntutan yang agun dan maksud yang mulia. Taufiq itu ada di tangan Allah ﷻ semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Kita memohon kepada Allah ﷻ dengan karunia dan kemuliaan-Nya agar menjaga anak-anak kita seluruhnya sebagaiman Ia menjaga para hamba-Nya yang shalih dan agar Allah ﷻ menjaga anak-anak kita dengan taufiq, dan agar Allah ﷻ memberikan mereka rejeki berupa kebaikan, kesehaatan, dan keselamatan dari fitnah. Sesunggungnya Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
Pilar Pertama: Memilih Istri Shalihah
Sesungguhnya pilar pertama dalam pembinaan anak adalah memilih istri yang shalihah. Pilar ini dilakukan sebelum kedua orang tua diberikan anugerah berupa anak-anak. Kamu wajib bersungguh-sungguh dalam memilih istri yang dikenal dengan keistiqamahan, kebaikan, dan ketakwaaan. Karena istri shalihah akan membantumu dalam membimbing, mendidik, dan membesarkan mereka dengan perkembangan yang baik sehingga sekalipun wanita shalihah tidak membantu suaminya dalam membina anak-anak maka -minimal- ia tidak akan memberikan mudharat pada agama dan akhlak anak-anaknya.
Oleh karena ini, terdapat anjuran dari Nabi kita yang mulia untuk memilih wanita yang memiliki pemahaman agama yang baik. Beliau ﷺ bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لاِرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
”Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung”[7]
Juga terdapat hadis shahih yang lain dimana beliau ﷺ bersabda:
مَنْ رَزَقَهُ اللهُُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّطْرِ الْبَاقِي
“Siapa yang Allah memberikan rizki kepadanya berupa istri syang shalihah berarti Allah telah menolongnya melaksanakan setengah agamanya, maka hendaknya ia beratkwa kepada Allah untuk (menyempurnakan) setengah agamanya yang tersisa”[8]
Oleh karena inilah, istri shalihah termasuk diantara penyebab kebahagiaan yang paling besar di dunia sebagaimana Nabi kita kabarkan dalam sabdanya:
مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Diantara kebahagiaan seorang manusia adalah istri yang shalihah”[9]
Sesungguhnya wanita shalihah menjadi suatu kebahagian bagi seseorang karena seorang wanita shalihah memiliki sifat-sifat khusus yang hanya ada pada dirinya seperti ikhlas, mudah menerima nasihat, jujur, amanah, menunaikan janji, menjaga harta, menghormati suami, menjaga kehormatan, dan mampu membina anaknya dengan baik.
Sesungguhnya kebaikan yang ada pada istri yang shalihah biasanya akan kembali kepada anak-anaknya karena ia sering berinteraksi dengan mereka, memperhatikan mereka, dan mengarahkannya secara terus-menerus. Ini juga termasuk kebahagiaan yang Allah ﷻ jadikan ada pada diri istri shalihah.
Pilar Kedua: Menanamkan Akidah dan Iman
Akidah dan iman adalah dua pondasi yang dibangun di atasnya seluruh amalan yang lain. Jika pondasi ini baik, maka baik pula pengaruh-pengaruh yang dihasilkan dan akan memberikan buah yang baik. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيْثَةِ ِۨاجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْاَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ
Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah ﷻ telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah ﷻ membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun (Ibrahim: 24-26)
Apabila pohon dipotong akarnya, maka pohon itu akan mati. Begitupula agama, bila tidak berdiri di atas tauhid, maka tidak ada manfaatnya. Kedudukan tauhid pada agama sebagaimana akar pada pohon. Oleh karea itu, terdapat banyak nash dari Al Qur’an dan Hadits yang menunjukkan pentingnya menanamkan akidah yang selamat dan keimanan yang benar pada jiwa anak-anak sedari mereka kecil. Sebagaimana wasiat Luqman Al Hakim kepada anaknya dimana ia mengajari anaknya yang menguatkan pilar yang kedua ini, bahkan ia adalah wasiat pertama yang diucapkan kepada anaknya:
يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah ﷻ, sesungguhnya mempersekutukan (Allah ﷻ) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)
Beliau memulai wasiatnya dengan melarang dan memperingatkan anaknya dari kesyirikan. Karena kesyirikan adalah dosa yang paling berbahaya karena dapat membatalkan seluruh amalan.
Syirik adalah menyamakan selain Allah ﷻ dengan Allah ﷻ pada sesuatu yang merupakan hak Allah ﷻ. Sebagaimana Allah ﷻ mengabarkan tentang orang-orang musyrik bahwa mereka apabila masuk ke neraka pada hari kiamat, akan berkata dalam keadaan merasa rugi dan menyesal:
تَاللّٰهِ اِنْ كُنَّا لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ۙ اِذْ نُسَوِّيْكُمْ بِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
”Demi Allah ﷻ, sesungguhnya kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu (berhala-berhala) dengan Tuhan seluruh alam. (Asy Syu’araa: 97-98)
Diantara yang diwasiatkan Luqman Al Hakim kepada anaknya adalah mengingatkan anaknya agar menghadirkan perasaan diawasi oleh Allah ﷻ (muraqabah). Ia berkata:
يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ
”Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah ﷻ akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah ﷻ Mahahalus, Mahateliti” (Luqman: 16)
Ayat ini mengandung peringatan kepada kedua orang tua agar memperhatikan pendidikan anak-anak mereka agar mereka merasa selalu diawasi oleh Allah ﷻ dan bahwa Allah ﷻ senantiasa mengetahui perbauatan mereka.
Dengan menanamkan akidah ini pada jiwa anak-anak akan menguatkan tingkatan ihsan pada diri mereka dan mempersiapkan mereka agar memiliki sifat muraqabah pada seluruh perbuatan mereka terlebih lagi pada waktu dimana perangkat (gadget) tersebar luas yang mengandung racun dan bencana yang luar biasa.
Rasulullah ﷺ sangat bersemangat dalam menjelaskan akidah dan menanamkannya di jiwa anak-anak yang sedang tumbuh. Dari Ibnu Abbas, semoga Allah ﷻ meridhainya, ia berrkata:
يَا غُلاَمُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفِ
“Wahai ananda, Aku akan mengajarkan kepadamu beberapa perkara: Jagalah Allah ﷻ!, niscaya dia akan menjagamu, Jagalah Allah ﷻ! niscaya Dia akan selalu berada dihadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah ﷻ, jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah ﷻ. Ketahuilah sesungguhnya jika suatu umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu atas sesuatu, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagimu, dan jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu atas sesuatu , niscaya mereka tidak akan mencelakakanmu kecuali kecelakaan yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering”[10]
Pilar Ketiga: Banyak Berdoa Untuk Anak
Doa kepada anak-anak termasuk pilar yang paling penting untuk kebaikan dan keistiqamahan mereka. Do aini dilakukan baik sebelum kedatangan merka maupun sesudahnya. Kedua orang tua memohon kepada Allah ﷻ agar Allah ﷻ mengaruniakannya keturunan yang shalih dan setelah diberikan karunia berupa anak, kedua orang tua memohon kepada Allah ﷻ agar anak-anaknya diberikan petunjuk, kebaikan, istiqamah, dan keteguhan di atas agama, sebagai bentuk mengambil teladan dari para Nabi. Sesungguhnya Allah ﷻ mengabarkan tentang kekasih-Nya, Nabi Ibrahim, bahwa beliau berdoa:
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” (As Shaffat: 100)
Nabi Ibrahim juga berdoa:
رَبِّ اجْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلٰوةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْۖ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاۤءِ
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (Ibrahim: 40)
Nabi Zakariya berdoa:
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهٗ ۚ قَالَ رَبِّ هَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۚ اِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاۤءِ
Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (Ali Imran: 38)
Diantara doa para hamba-hamba Allah ﷻ yang Maha Pengasih yang dipuji oleh tuhan seluruh alam[11]:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Furqan: 74)
Diantara kenikmatan dan kemurahan Allah ﷻ, Ia jadikan doa orang tua kepada anaknya itu mustajab (dikabulkan) sebagaimana yang ditetapkan dalam hadits Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga macam doa yang pasti diterima tanpa ragu lagi, yaitu: doa bapak, doa musafir, dan doa dari orang yang teraniaya”[12]
Diantara perkara yang wajib diperhatikan olah para orang tua berkaitan dengan pembahasan ini, agar mereka berhati-hati dari mendoakan keburukan kepada anak-anak mereka terutama saat sedang marah. Hendaknya kedua orang tua tidak tergesa-gesa dalam mendoakan keburukan anaknya, lalu doanya dikabulkan sehingga membuat keduanya sangat menyesal setelah itu terjadi.
Sungguh rasul kita yang mulia telah memperingatkan kita dengan sabdanya:
لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ لَا تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ
“Janganlah kalian mendoakan kejelekan untuk diri kalian sendiri, dan janganlah kalian mendoakan kejelekan untuk anak-anak kalian, serta jangan mendoakan kejelekan untuk harta kalian. Janganlah kalian berdoa seperti itu karena boleh jadi bersesuaian dengan satu waktu dari Allah ﷻ yang jika Dia diminta sesuatu pada waktu tersebut, Dia pasti mengabulkannya untuk kalian“[13]
Allah ﷻ berfirman:
وَيَدْعُ الْاِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاۤءَهٗ بِالْخَيْرِۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ عَجُوْلًا
Dan Manusia (seringkali) berdoa untuk kejahatan sebagaimana (biasanya) dia berdoa untuk kebaikan. Dan memang manusia bersifat tergesa-gesa. (Al Isra: 11)
Qatadah berkata: “Ia mendoakan keburukan atas hartanya, lalu ia melaknat harta dan anak-anaknya. Kalau sekiranya Allah ﷻ mengabulkan doanya, niscaya Allah ﷻ akan mebinasakannya[14]”
Al ‘Alamah Abdurrahman As Sa’diy berkata: “Ini merupakan kebodohan manusia dan ketergesaannya manakala ia mendoakan keburukan atas diri, anak, dan hartanya ketika marah. Lalu ia bersegera mendoakan keburukan sebagaiman ia bersegera dalam mendoakan kebaikan”
Pilar Keempat: Membentengi Anak Dengan Dzikir
Diantara pilar yang agung dalam mendidik anak adalah semangat kedua orang tua dalam membentengi anak-anaknya dengan dzikir-dzikir syar’i dan wirid-wirid yang diajarkan Nabi. Sesungguhnya hal tersebut besar pengaruhnya pada anak-anak sebagai penjagaan, kebaikan, dan keselamatan dari fitnah dan keburukan. Sungguh telah disyariatkan kepada kedua orang tua untuk membentengi keturunannya sebelum diciptakan.
Dari Ibnu Abbas, dari Nabi, beliau ﷺ bersabda:
لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ فَقَالَ بِاسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا . فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرُّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
“Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami) ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a: “Dengan (menyebut) nama Allah ﷻ, ya Allah ﷻ jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah ﷻ menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya”[15]
Maka dalam ucapan “dan jauhkanlah syaithan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami” adalah perlindungan yang besar bagi anak-anak agar selamat dari keburukan syaithan dan sekutunya. Kemudian setelah Allah ﷻ mengaruniakan anak-anak kepada orang tua, keduanya sepatutnya berusaha memberikan perlindungan dan benteng kepada anak-anaknya.
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ memohonkan perlindungan untuk Hasan dan Husain, (beliau membaca):
أُعِيْذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ
“Aku memohon perlindungan dengan kalimat Allah yang sempurna untuk kalian berdua, dari gangguan setan dan binatang berbisa, dan dari pandangan mata (ain) yang membuat sakit”
Kemudian beliau ﷺ bersabda: “Ayah kalian (Ibrahim) memohon perlindungan untuk Ismail dan Ishaq dengan kalimat doa tersebut”[16]
Kemudian ketika anaknya mulai bisa berbicara, kedua orang tua harus bersemangat mengajarkan anak-anaknya dzikir-dzikir yang diajarkan nabi sejak kecil terutama dzikir harian seperti dzikir pagi dan petang, doa masuk dan keluar rumah, doa makan, memakai pakaian dan yang semisalnya. Sehingga anak akan tumbuh dalam keadaan terbiasa berdzikir kepada Allah ﷻ dan membiasakannya dalam semua keadaannya yang mana itu akan menjadikannya sehat dan selamat dari bahaya dan keburukan dan akan menghasilkan keberkahan pada seluruh urusannya.
Pilar Kelima: Memilih Nama-nama yang Baik
Diantara perkara yang dapat membantu dalam membina anak dengan pembinaan yang baik adalah dengan memilih nama yang bagus dan baik yang dikaitkan dengan ketaatan kepada Allah ﷻ seperti diberi nama Abdullah (hamba Allah ﷻ), Abdurrahman (hamba yang Maha Pengasih), Muhammad (yang dipuji), Shalih (orang yang baik), dan nama-nama lain yang mengingatkan sang anak keterkaitannya dengan kebaikan, ibadah, dan hal-hal terpuji sehingga biasanya akan memberi pengaruh (baik) kepada sang anak. Dikatakan dalam pepatah “Setiap orang memiliki bagian (pengaruh) dari namanya”. Terdapat hadis shahih dari Nabi bahwa beliau ﷺ bersabda:
إِنَّ أَحَبَّ أَسمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبدُاللَّهِ وَ عَبدُ الرَّحْمَنِ
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah ﷻ adalah Abdullah dan Abdurrahman”[17]
Termasuk hal yang baik apabila orang tua menjelaskan makna dari nama yang diberikan kepada anaknya dan mengarahkan makna namanya kepada sesuatu yang dicintai Allah ﷻ. Misalnya, jika namanya Abdullah, kamu berkata padanya: “Kamu adalah hamba dari Allah ﷻ yang telah menciptakan dan menjadikanmu ada, memberimu nikmat yang banyak, yang seharusnya itu membuatmu menjadi orang yang bersyukur dan taat kepada-Nya”.
Sementara jika Namanya sama dengan nama-nama Nabi atau nama-nama sahabat yang mulia, maka baik sekali jika kamu mengulang-ulang kisah Nabi atau Sahabat atau nama-nama lain tersebut dan menjelaskan hal-hal terpuji dan mulia agar ia bersungguh-sungguh mengikuti dan menyerupai (jejak) nabi dan sahabat yang memiliki nama tersebut. Begitupula lakukan hal ini untuk nama-nama lainnya yang baik.
Termasuk bagian dari pilar ini adalah memberikan kun-yah (panggilan yang dimulai dengan abu atau ummu -pent) kepada anak-anak dengan kun-yah yang baik sejak mereka kecil. Misalnya Abu Abdillah (Ayahnya Abdullah), atau Abu Abdirrahman (Ayahnya Abdurrahman) dan yang semisalnya agar berlaku padanya kun-yah yang baik yang bisa menguatkan kepribadian mereka. Ini juga agar mereka tidak lebih dulu mendapatkan laqab (julukan) yang buruk dan tercela. Ini juga termasuk optimisme yang baik agar anak ini hidup sampai dikarunai keturunan.
Pilar Keenam: Berlaku Adil kepada Anak-anak
Berlaku adil diantara anak-anak dan menjauhkan sifat tidak adil dan dzhalim dianggap sebagai pilar paling penting yang mempengaruhi pembinaan mereka. Sesungguhnya seorang Ayah bila tidak adil kepada anak-anaknya akan menimbulkan permusuhan, hasad, dan kebencian. Sebaliknya jika orang tua berusaha keras untuk adil diantara anak-anak, maka itu merupakan sebab paling besar timbulnya rasa saling mencintai, mengasihi, dan berbakti kepada orang tuanya.
Sungguh telah shahih sebuah hadits dalam Shahih Bukhari dari Nu’man bin Basyir bahwa ayahnya memberikannya sebidang tanah. Ibunya meminta ayahnya agar Rasulullah ﷺ menjadi saksi atas pemberian tersebut. Lalu ketika Rasulullah ﷺ datang, beliau bersabda: “Kamu telah memberikan semua anakmu seperti ini?”. Lalu ia menjawab: ”Tidak”. Maka Rasulullah bersabda:
فَاتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ
“Maka bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adil-lah kepada anak-anak kalian”[18]
Dalam Riwayat muslim sesungguhnya Nabi bersabda kepadanya:
أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا إِلَيْكَ فِي الْبِرِّ سَوَاءً؟ قَالَ: بَلَى، قَالَ: فَلَا إِذًا
“Apakah Engkau tidak ingin mereka berbakti kepadamu dengan kadar yang sama?” Ia menjawab, “Tentu saja.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika begitu, jangan Engkau lakukan perbuatan itu lagi.”[19]
Dalam suatu riwayat:
لَا أَشْهَدُ عَلَى جَوَارٍ
“Aku tidak bersaksi di atas ketidakadilan”[20]
Dalam riwayat lain:
فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِيْ
“Maka carilah saksi selain diriku”[21]
Kalimat ini merupakan ancaman baginya. Kalau tidak, maka siapa lagi dari orang beriman yang baik hatinya yang mau bersaksi atas sesuatu yang telah ditetapkan oleh Nabi sebagai ketidakadilan, tidak benar, menyelisihi ketakwaan, dan menyelisiihi keadilan?!
Hadits ini merupakan peringatan yang sangat keras dari berlaku tidak adil dan dzhalim diantara anak-anak. Ini juga menjelaskan apa yang bisa menimbulkan kedurhakaan, tidak mau berbakti, putusnya hubungan, dan saling menjauh antara sesama saudara.
Pilar Ketujuh: Kelembutan dan Kasih Sayang
Diantara pilar pendidikan anak adalah sifat lemah lembut kepada mereka dan berinteraksi kepada mereka dengan kasih sayang dan penuh kebaikan. Menjauhkan diri dari sifat keras, kasar, dan antipati. Sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَيَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَ عُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek”[22]
Sifat kasih sayang dan kelembutan ini wajib diberikan kepada anak-anak mulai mereka masih kecil dan terus menerus bersikap seperti itu ketika membersamai mereka. Sesungguhnya itu adalah sebab dekatnya dan cintanya anak dengan orang tua mereka. Bersamaan dengan hadirnya kedekatan ini, lebih mudah bagi orang tua untuk mengarahkan anak-anaknya menuju kebaikan dan memudahkan orang tua dalam menasehari mereka. Itu juga memudahkan anak-anak untuk memenuhi dan menerima nasihat orang tuanya.
Sungguh banyak nash dari sunnah Nabi yang menjelaskan pilar ini. Dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ mencium Hasan bin Ali dan Al Aqra bin Habis duduk disisinya lalu berkata, ”Aku memiliki 10 anak dan tak seorang pun dari mereka yang aku cium”. Maka Rasulullah melihatnya lalu bersabda:
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
“Orang yang tidak menyayangi, tidak disayangi”[23]
Dari ummul mu’minin, Aisyah, bahwa orang arab badui mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata: “Kamu mencium anak kecil? Sementara kami tidak mencium mereka”. Lalu Nabi ﷺ bersabda:
أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ
“Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah ﷻ mencabut rasa sayang dari hatimu”[24]
Dari Ummu Fadhl, bahwasanya ia membawa Hasan bin Ali kepada Nabi dan saat itu ia sudah disapih. Lalu Rasulullah menggendong Hasan di dadanya kemudian ia kencing di dadanya sehingga kencingnya mengenai sarungnya. Ummu Fadhl berkata: ”Aku mendorong (memukul) dengan tanganku antara dua pundak Hasan”. Lalu Rasulullah bersabda:
ارْفُقِي بِابْنِي رَحِمَكِ اللَّهُ
”Bersikap lembutlah kepada anakku, semoga Allah merahmatimu”[25]
Diantara yang menunjukkan pentingnya memperhatikan masalah sikap lembut dan kasih sayang dengan anak-anak yang mana itu merupakan pintu memasuki surga dan membebaskan diri dari neraka adalah apa yang disebutkan oleh ibunda orang beriman, Aisyah yang berkata:
جَاءَتْنِي مِسْكِينَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا، فَأَطْعَمْتُهَا ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ، فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً، وَرَفَعَتْ إِلَى فِيهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا، فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا، فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ، الَّتِي كَانَتْ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا، فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: “إِنَّ اللهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ، أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ”
”Seorang wanita miskin datang kepadaku membawa dua orang puterinya, maka akupun memberikan ibu itu 3 butir kurma, lalu dia memberikan masing-masing puterinya sebutir kurma, dan ketika dia mengangkat sebutir kurma yang tersisa menuju mulutnya untuk dia makan, kedua putrinya memintanya, maka dibelahlah kurma yang barusan hendak dia makan, dia bagi dua untuk kedua putrinya, maka akupun takjub melihatnya, lalu aku mengabarkan perbuatan ibu itu kepada Rasulullah shallAllah ﷻu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda : “sungguh Allah ﷻ telah mewajibkan baginya surga atau membebaskannya dari neraka”[26].
Pilar Kedelapan: Terus Menerus Memberikan Nasihat dan Arahan
Diantara yang termasuk pilar dalam pendidikan anak adalah senantiasa berusaha menasehati dan mengarahkan anak terutama tentang perkara yang agung dan akhlak yang mulia, dimulai dengan masalah akidah dan agama, kewajiban-kewajiban dalam islam beserta rukun-rukunnya, kemudian seluruh perkara syariat. Begitupula orang tua senantiasa memberikan nasihat untuk menjauhi perkara yang dilarang, mulai dari dosa-dosa besar, baru kemudian seluruh perkara yang dilarang dalam syariat. Perkara ini harus mendapatkan porsi yang paling besar untuk terus diberikan nasihat dan arahan. Selanjutnya, orang tua baru boleh beralih pada perkara lain untuk kebaikan anak-anak mereka berupa perkara dunia seperti makanan, pakaian, dan yang selainnya.
Diantara nasihat mendalam yang sangat bermanfaat adalah apa yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam kitab-Nya dari Luqman Al Hakim ketika memberikan pelajaran kepada anaknya dalam Surah Luqman dimana Ia memulai menasihati anaknya dengan tauhid, lalu memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua. Selanjutnya, Ia mengingatkan anaknya bahwa pengetahuan Allah ﷻ meliputi seluruh mahkluk-Nya yang mana itu merupakan isyarat tentang betapa perlunya ada muraqabah (perasaan diawasi) pada seluruh perbuatannya. Kemudian Ia mendorong anaknya untuk melakukan shalat yang mana itu adalah amalan badan yang paling agung. Luqman menutup wasiatnya dengan mengingatkan anaknya sejumlah perkara yang menunjukkan ketingian dan kemuliaan akhlak. Allah ﷻ berfirman:
وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ ࣖ
”Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Lukman berkata), ”Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti. Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting. Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman: 13-19)
Sungguh jalan ini telah ditempuh oleh para Nabi dan orang shalih sebagaimana pada wasiat sebelumnya. Allah ﷻ menyebutkan tentang dua orang nabi-Nya, Ibrahim dan Ya’qub dalam firman-Nya:
وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (Al Baqarah: 132-133)
Allah ﷻ menyanjung nabi Ismail ketika memerintahkan keluarganya untuk shalat dan zakat. Allah ﷻ berfirman:
وَكَانَ يَأْمُرُ اَهْلَهٗ بِالصَّلٰوةِ وَالزَّكٰوةِۖ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهٖ مَرْضِيًّا
Dan dia menyuruh keluarganya untuk (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat (Maryam: 55)
Allah ﷻ memerintahkan nabi Muhammad ﷺ untuk menjaga pelaksanaan shalat wajib dan juga memerintahkan keluarganya dan mendorong mereka untuk melaksanakannya sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَاۗ
Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya (Thaha: 132)
Termasuk dalam pembinaan anak dan nasihat bagi mereka juga adalah orang tua menjauhkan anak-anaknya dari semua yang bisa merusak akhlak dan agama mereka seperti mendengarkan musik, saluran-saluran TV yang berbahaya, alat-alat yang diharamkan dan memperingatkan anaknya dari pergi ke tempat permainan yang diharamkan.
Pilar Kesembilan: Teman Duduk yang Shalih
Sesungguhnya memperhatikan teman duduk dan sahabat sang anak termasuk pilar yang wajib dijaga dalam mendidik anak. Karena teman itu menarik temannya dan pasti mempengaruhi teman duduknya. Nabi telah membuat permisalan yang menjelaskan pengaruh seorang teman kepada temannya baik dalam hal yang baik maupun yang buruk. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.”[27]
Nabi ﷺ juga bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu sesuai agama teman dekatnya. Oleh karena itu, hendaknya kalian memperhatikan siapa teman dekat kalian”[28].
Wajib bagi para orang tua memperhatikan dan mengecek dengan siapa anaknya berteman dan bermain di sekolahnya dan tempat lainnya.
Sungguh baru-baru ini ada bentuk pertemanan baru di zaman ini yang tidak ada pada zaman sebelumnnya namun pengaruhnya tidak kalah dari teman pada zaman sebelumnya. Itu adalah saluran tv satelit, website, dan media sosial lewat smartphone dan yang semisalnya yang mudah dibawa oleh anak di tangan mereka dimanapun mereka berada baik di rumah maupun di luar rumah. Perangkat ini bila tidak diawasi oleh orang tua maka bahayanya sangat besar bagi akal, agama, akhlak, dan adab sang anak. Betapa banyak pemuda/i yang menyimpang disebabkan perangkat tersebut yang menggiring mereka ke kemungkaran yang besar dan petaka yang hebat yang tidak diketahui bahayanya kecuali oleh Allah ﷻ.
Pondasi Kesepuluh: Teladan yang Baik
Diantara pilar yang agung manakala orang tua menjadi teladan bagi anak-anaknya. Ketika orang tua memerintahkan anaknya melakukan kebaikan, ia menjadi yang paling bersegera dalam melaksanakannya. Ketika ia melarang anaknya dari suatu keburukan, ia yang paling mejauhkan diri darinya. Jangan sampai ia bicara sesuatu namun perbuatannya menyelisihinya. Sikap ini akan menimbulkan perlawanan, pertentangan, dan keguncangan yang besar yang bisa mendorong anak untuk meninggalkan pengarahan dan bimbingan dari orang tua. Sang anak tidak akan mau mendengarkan nasihat dan bimbingan orang tuanya karena sesungguhnya jiwa itu secara naluri tidak mau peduli ucapan orang yang tidak mengamalkan ilmunya.
Ini seperti seorang dokter yang memberikan obat kepada pasiennya, sedangkan dokter tersebut menolak obat tersebut. Akan tetapi dokter tersebut masih lebih baik kondisinya dari orang yang memberi nasihat tapi ia menyelisihinya, karena bsia jadi dokter memiliki pilihan lain dalam hal obat, dan bisa jadi dokter memandang obat tersebut tidak diperlukan dan akan sembuh dengan sendirinya, dan semisalnya. Berbeda dengan orang yang memberikan nasihat ini, dimana ia menasehati jalan khusus menuju keselamatan, dan tidak ada jalan lain selain jalan tersebut.
Berangkat dari sini, Nabi Syuaib berkata pada kaumnya:
وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ
Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya (Hud: 88)
Sebagian salaf berkata: “Bila kamu ingin agar perintah dan laranganmu diterima, jadilah orang pertama yang melakukan ketika memerintahkan sesuatu dan jadilah orang pertama yang menjauhi ketika melarang sesuatu”. Sungguh telah dikatakan:
يَا أَيُّهَا الرَّجُلُ المُعَلِّمُ غَيْرَهُ * هَلَّا لِنَفْسِكَ كَانَ ذَا التَّعْلِيْمُ
Wahai orang yg mengajari orang lain * Tidakkah kau mengajari dirimu dulu
تَصِفُ الدَّوَاءَ لِذِي السَّقَامِ مِنَ الضَّنَى * وَمِنَ الضَّنَى تُمْسِيْ وَاَنْتَ سَقِيْمُ
Kamu memberikan resep obat untuk orang yang sakit keras * sementara di waktu sorenya kamupun mengalami sakit keras
لَا تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِيْ مِثْلَهُ * عَارٌ عَلَيْكَ إِذَا فَعَلْتَ عَظِيْمُ
Janganlah melarang akhlak (yg buruk), tapi kamu sendiri melakukannya * Sungguh memalukan, jika kau tetap saja mengerjakannya
اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَانْهَهَا عَنْ غَيِّهَا * فَإِذَا انْتَهَتْ عَنْهُ فَأَنْتَ حَكِيْمُ
Mulailah dari dirimu, dan lepaskanlah dosanya *** Karena engkaulah sang bijaksana, jika kau telah lepas darinya
هُنَاكَ يُقْبَلُ مَا تَقُوْلُ وَيُقْتَدَى * بِالْقَوْلِ مِنْكَ وَيَنْفَعُ التَّعْلِيْمُ
Saat itulah, nasehat dan didikanmu berguna*** begitupun ucapanmu, akan diikuti
Fudhail bin Iyadh berkata bahwa Malik Bin Dinar melihat seorang laki-laki yang tidak benar cara shalatnya, lalu ia berkata: ”Betapa aku sangat kasihan dengan keluarganya”. Maka dikatakan kepadanya, ”Wahai Abu Yahya, orang itu yang salah shalatnya lalu kamu merasa kasihan dengan keluarganya?”. Ia menjawab: ”Sesungguhnya ia adalah panutan mereka, darinyalah keluarganya belajar”.
Maka besar sekali dosa orang tua terhadap anaknya manakala ia menjadi contoh buruk dalam meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan. Karena anak itu biasanya tumbuh dipengaruhi oleh tingkah laku ayah mereka, karena ia adalah panutan, dan darinyalah anaknya belajar.
Pada pembahasan ini hendaknya kita melihat kembali firman Allah ﷻ yang mencela bani Israil:
اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti? (Al Baqarah: 44)
Allah ﷻ juga berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (As Saff: 2-3)
Penutup
Inilah sedikit pembahasan tentang pilar-pilar yang membantu membina, mendidik, dan menertibkan anak-anak. Hendaknya seorang muslim mengetahui bila ia memperhatikan pilar-pilar ini dan menerapkannya, dialah orang pernama yang akan merasakan buah dari pendidikan ini pada kehidupannya dan setelah kematiannya. Selama ia hidup, anaknya menjadi anak yang shalih yang berbakti kepadanya, menjaga hak-haknya, dan menjauhi sifat durhaka karena Islam telah mendidik, memerintahkan, dan mendorong anak-anaknya untuk melakukan hal tersebut. Adapun setelah kematiannya, anak-anaknya akan bersungguh-sunggu mendoakannya. Sungguh Rasulullah bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh“[29]
Oleh karena itu wajib bagi para orang tua memperhatikan bahwa masalah pendidikan anak adalah masalah besar dan agung yang harus diperhatikan oleh orang tua dengan perhatian yang tinggi karena kebanyakan penyebab rusaknya anak-anak adalah karena orang tua yang lalai dan meremehkan masalah pendidikan anak.
Al Allamah Ibnul Qayyim berkata: “Siapa yang mengabaikan pendidikan anak dalam hal apa yang bermanfaat bagi anak dan membiarkannya begitu saja maka sungguh ia telah melakukan keburukan yang luar biasa. Kebanyakan anak-anak itu kerusakannya terjadi dari sisi orang tua, diabaikan oleh orang tua, dan orang tuanya tidak mengajarkan anaknya kewajiban agama dan sunnahnya”.
Di sini kita melihat masalah penting yang sepatutnya dilakukan oleh para orang tua, yaitu bersamaan dengan upayanya memperhatikan sebab dan pilar-pilar yang agung dalam mendidik anak, Ia juga harus menyerahkan urusannya kepada Allah ﷻ, bertawakkal padanya dalam memperbaiki dan menjaga anak-anaknya sebagaimana Allah ﷻ menjaga para hambanya yang shalih. Ia tidak boleh hanya menggantungkan hatinya dengan sebab-sebab ini saja.
Imam Malik bin Anas berkata: “Adab itu adalah adab dari Allah ﷻ, bukan adab dari ayah dan ibu. Kebaikan itu dari Allah ﷻ, bukan kebaikan dari ayah dan ibu”. Kalimat yang agung dari Imam Malik ini mengandung hiburan dan peringatan. Hiburan bagi orang yang sudah berusaha sekuat tenaga mendidik anaknya namun anaknya tidak juga menjadi baik. Peringatan bagi orang yang Allah ﷻ muliakan dengan keturunan yang baik agar tidak hanya melihat perannya dalam mendidik anaknya. Itu mutlak sebagai nikmat dari Allah ﷻ kepadanya. Orang tua wajib merasa optimis dan berharap penuh pada karunia dan anugerah Allah ﷻ agar memperbaiki keadaan mereka dan menunjuki mereka jalan yang lurus.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Aku tidak menyangka bahwa ada orang yang bertaqwa kepada Allah ﷻ tentang anak-anaknya lalu menempuh jalan syariat dalam mengarahkan mereka kecuali Allah ﷻ akan memberikan petunjuk kepada anak-anaknya”
Aku memohon kepada Allah ﷻ agar menolong kita semua dalam mendidik anak-anak kita dan membimbing mereka dengan bimbingan yang benar, dan agar Allah ﷻ memperbaiki mereka, menjaga mereka dari fitnah yang nampak dan tersembunyi, dan menjadikan mereka orang-orang yang memperoleh petunjuk, bukan orang yang sesat dan menyesatkan. Sesungguhnya Allah ﷻ Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.
[1] Dikeluarkan oleh At Thabrani dalam Jami Al Bayan Fi Ta’wil Al Qur’an (23/103)
[2] HR Bukhari (5188) dan Muslim (1829)
[3] Tuhfatul Maudud Biahkam Al Maulud oleh Ibnul Qayyim (hal. 229)
[4] HR Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (5301)
[5] Tuhfatul Maulud oleh Ibnul Qayyim (Hal 229)
[6] HR Bukhari (5188) dan Muslim (1829)
[7] HR Bukhari (5090) dan Muslim (1466)
[8] HR Al Hakim dalam Al Mustadrak (2/162). Ia berkata sanadnya shahih dan Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib (2/404). Ia berkata hasan lighairih.
[9] HR Ahmad dalam Al Musnad (1445) dan Albani berkata dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib (2/403): Shahih lighairih
[10] HR At Tirmidzi dalam Al Jaami (2516) dan dishahihkan oleh Albani dalam Al Misykah (5302)
[11] Aku telah menulis pembahasan tersendiri yang ringkas dengan judul “Sifat Ibadirrahman” yang menjelaskan sifat-sifat yang mulia ini yang dipuji oleh Allah di akhir surat Al Furqan. Buku ini sudah dicetak.
[12] HR Abu Daud dalam As Sunan (1536) dan At Tirmidzi dalam Al Jaami’ (1905) dan dishahihkan oleh Albani dalam Ash Shahihah (596)
[13] HR Muslim (3009)
[14] Jami Al Bayan fi Ta’wil Al Qur’an oleh Ath Thabari (14/513)
[15] HR Bukhari (6388) dan Muslim (1434)
[16] HR Bukhari (3371) dan Abu Daud dalam As Sunan (4737) dan ini lafaz hadits beliau.
[17] HR Muslim (2132)
[18] HR Bukhari (2587)
[19] HR Muslim (1623)
[20] HR Bukhari (2650) dan Muslim (1623)
[21] HR Muslim (1623)
[22] HR Muslim (2594)
[23] HR Bukhari (5997) dan Muslim (2594)
[24] HR Bukhari (5998)
[25] HR Ahmad dalam Al Musnad (26875 dan 26878) dengan sanad yang shahih. Ucapannya “زَخَخْتُ ” artinya “aku mendorong”. Lihat An Nihayah (2.298)
[26] HR Muslim (2630)
[27] HR Bukhari (5534) dan Muslim (2628)
[28] HR Abu Daud dalam As Sunan (4833). Lihat As Silsilah Ash Shahihah (927)
[29] HR Muslim (1631)