عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ [رواه البخاري ومسلم]
المُفْرَدَاتُ |
|
صَمَتَ – يَصْمُتُ- صَمْتًا (Diam) | أَكْرَمَ –يُكْرِمُ – إِكْرَامًا (Memuliakan) |
جَارٌ (tetangga) | ضَيْفٌ (tamu) |
Dari Abu Hurairah t, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Syarah Hadits Al Arbain An Nawawiyyah – Ibnu Daqieq Al ‘Ied
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,” maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :
إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا ٣٦
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya.” (Al Isra’ : 36)
dan firman-Nya:
مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ ١٨
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid.” (Qaff : 18)
Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Tidaklah manusia jatuh tersungkur di atas hidungnya ke neraka melainkan karena menuai dari apa yang dikatakan oleh lidahnya.”
Beliau juga bersabda :
“Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.
Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.
Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain adalah hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” Sebagian ulama memaknakan hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik dengan ketelitian, dan bisa mendapatkan pahala karenanya, maka hendaklah dia mengatakannya, jika tidak, hendaklah dia menahan diri pembicaraan itu, sama saja apakah nampak bahwa perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah.” Maka berdasarkan hal ini; perkataan yang mubah menjadi diperintahkan untuk ditinggalkan, disunnahkan untuk menahan diri darinya karena dikhawatirkan bisa menjerumuskan kepada yang haram atau makruh, dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia. Allah berfirman :
مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ ١٨
“Tidaklah dia mengucapkan suatu perkataan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir dan siap sedia.” (QS.Qaaf : 18)
Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas dikhususkan (ada pengecualiannya), yaitu: Tidaklah dia mengucapkan suatu perkataan -yang berkonsekuensi datangnya balasan-.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya – hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan Rasulullah ﷺ bersabda :
“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya.”
Memuliakan tamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan memuliakan tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.
Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan rukun dari memuliakan tamu adalah menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri.” Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.
Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi ﷺ “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah ﷺ dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah dia berkata benar” dan didahulukannya itu atas lafadz “diam.” Berkata baik dalam hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan Rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum Muslimin, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.