Hadits Arbain 14: Kehormatan Darah Muslim

3 minutes, 37 seconds Read

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ [رواه البخاري ومسلم]

المُفْرَدَاتُ

حَلَّ يَحِلُّ – حِلًّا (halal) ثَيِّبٌ (Janda)
فَارَقَ يُفَارِقُ – مُفَارَقَةً   (Memisahkan diri)  

 

Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda : Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah ﷺ ) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab : Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Syarah Hadits Al Arbain An Nawawiyyah – Ibnu Daqieq Al ‘Ied

Pada beberapa riwayat lainnya yang telah disepakati atasnya (atas keshohihannya) disebutkan :

“Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasul Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal.” Maka kalimat: “Telah bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah secara benar kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasul Allah” merupakan penjelasan dari kata “muslim.” Dan demikian pula  kalimat “yang memisahkan diri dari  Al-Jama’ah,” adalah penjelasan dari kata: “yang meninggalkan agamanya”.

Ketiga golongan ini darahnya dihalalkan berdasarkan nash. Yang dimaksud dengan “jama’ah” adalah kaum Muslimin dan yang dimaksud dengan “berpisah dari Al-Jama’ah” adalah keluar dari agama. Inilah yang menyebabkan darahnya dihalalkan.

Kalimat “yang meninggalkan agamanya, yang berpisah dari Al-Jama’ah” adalah kalimat umum yang mencakup setiap orang yang keluar (murtad) dari agama Islam dalam bentuk apapun, maka ia wajib dibunuh kalau tidak mau kembali kepada Islam. Para ulama berkata : “Kalimat tersebut juga mencakup setiap orang yang keluar dari Jama’ah (kaum Musliminin) dengan berbuat bid’ah, atau al-baghyu (berbuat zalim dan keluar dari ketaatan pemimpin yang adil)[1], atau lainnya. Wallahu a‘lam.

Secara lahiriahnya, kalimat tersebut umum namun dikhususkan (dikecualikan) darinya: orang yang melakukan penyerangan atau semacamnya terhadap kaum Musliminin, maka untuk mengatasi gangguannya itu dia boleh dibunuh. Hal itu mungkin bisa dijawab: “Itu (penyerangan) telah masuk dalam kata “berpisah dari Al-Jama’ah.” Jadi, yang dimaksud oleh hadits di atas ialah: seorang muslim tidak boleh dengan sengaja dibunuh terkecuali karena dia melakukan salah satu dari tiga hal di atas. Wallahu a’lam.

Sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa orang yang meninggalkan shalat boleh dibunuh, karena perbuatannya itu termasuk salah satu dari tiga perbuatan di atas. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, sebagian menyatakannya kafir dan sebagian lagi menyatakan tidak kafir.

Pendapat yang menyatakan kafir berdalil dengan hadits lain yaitu sabda Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam : “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia (القِتَال) sampai mereka bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasul Allah, mereka melakukan shalat dan mengeluarkan zakat.” Mereka mengarahkan dalil ini bahwa “perlindungan darah” diberikan kepada orang yang mengumpulkan antara: pengucapan syahadatain, pelaksanaan shalat dan pengeluaran zakat secara utuh. Dan adanya sesuatu yang didefinisikan dengan beberapa unsur secara berurutan menunjukkan bahwa sesuatu itu tidak akan bisa diraih  kecuali dengan mengumpulkan semua unsur itu, dan sesuatu itu akan hilang ketika hilang salah satu unsurnya.

(Bantahan): Pemahaman seperti ini, jika dia bermaksud berdalil dengan apa yang tersurat dari hadits itu; “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia (القِتَالُ= saling membunuh= peperangan)… dst,” maka itu mengharuskan adanya perintah untuk saling membunuh hingga batas akhir yang disebutkan (di dalam hadits). Ternyata dia lupa (di sini), karena tidak bisa disamakan antara “saling membunuh (القِتَالُ) karena suatu hal” dan “membunuh (القَتْلُ) karena hal itu,” karena al qitaal/ al muqootalah bermakna “saling melakukan pembunuhan” menandakan keharusan terjadi tindakan oleh 2 pihak, sehingga adanya kewajiban melakukan saling bunuh karena perkara sholat tidak mengharuskan adanya kewajiban membunuh karenanya jika dia meninggalkannya dengan tidak disertai tindakan memerangi kita, wallahu a’lam.

Kalimat “orang yang telah kawin berzina” mencakup laki-laki dan perempuan. hadits ini menjadi dasar kesepakatan kaum Muslimin bahwa orang yang berzina semacam itu dirajam dengan syarat-syarat yang dijelaskan dalam kitab fiqih.

Kalimat “jiwa dengan jiwa” sejalan dengan firman Allah:

وَكَتَبۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ ٤٥

“Dan Kami telah tetapkan mereka di dalam Taurat bahwa jiwa dengan jiwa.” (QS. Al Maidah : 45)

Yaitu berlaku sepadan antara orang-orang yang sama-sama Islam atau sama-sama merdeka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam : “Seorang muslim tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir”.

Begitu juga syarat merdeka, berlaku sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad. Akan tetapi, para pengikut ahli ra’yu (Imam Abu Hanifah) berpendapat seorang muslim dihukum bunuh karena membunuh kafir dzimmi dan orang merdeka dibunuh karena membunuh budak, dan mereka berdalil dengan hadits ini juga. Akan tetapi kebanyakan ulama berbeda dengan pendapat tersebut.

[1] Ibnul Manzhur berkata di dalam Lisanul ‘Arab:

 “والفئة الباغية : هي الظالمة الخارجة عن طاعة الإمام العادل

Artinya: “Kelompok manusia yang berbuat al-baghyu adalah mereka yang zalim dan keluar dari ketaatan pemimpin yang adil.” -edt

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *